Swift

Ajari Aku Mencintai-Nya

Namanya Furqan. Dia adalah satu-satunya murid laki-laki di sekolah ini yang tidak terpesona padaku. Oke, karena tidak ada yang tidak terpesona padaku, maka kukatakan dia adalah satu-satunya murid laki-laki di sekolah ini yang BELUM terpesona padaku.

Sebelumnya perkenalkan orang-orang memanggilku Honey. Itulah sebutanku di sekolah ini.  Mungkin karena kecantikanku dan kemanisan wajahku ini. Bisa dibilang aku adalah murid tercantik dan terpopuler di antara semua murid cewek di sekolah ini bahkan senior kelas XII sekalipun. Dengan kepopuleran itu selama bersekolah hampir dua tahun di SMA ini, tidak ada murid laki-laki di sekolah ini yang tidak mengakui kecantikanku. Mereka memuji kecantikanku, dan tentu saja terpesona padaku.


Setiap
hari lokerku dipenuhi coklat dan surat warna pink dari mereka yang menyukai ku
dan berninat menjadikanku pacarnya. Tidak hanya coklat dan surat cinta, mereka
yang nekat bahkan mengadakan semacam cara gila untuk menyatakan perasaannya
padaku mulai dari aksi romantis ‘berlutut di depanku di  depan umum’ sampai pakai acara mau bunuh
diri. Dan kebanyakan dari mereka harus patah hati.

Asal
kalian tahu saja, aku juga menetapkan beberapa standar dan hanya sedikit orang
yang bisa memenuhi standar itu. Pernah sekali aku berpacaran dengan Ketua Osis
yang merupakan cowok terpopuler di sekolah. Pernah juga aku berpacaran dengan
Ketua Tim Basket yang juga merupakan cowok terkeren di sekolah. Tidak
ketinggalan cowok tercupu di sekolah ini pun tidak terlewatkan.

Aku  bukan
gadis  pemakai  jilbab
walaupun  memang  kuakui
aku  Islam. Menurutku, banyak
cewek yang memakai jilbab tapi tetap saja kelakuannya bahkan  jauh
lebih  rendah  dari
pada  yang  tidak
berjilbab.  Aku  hanya menginginkan suatu saat ketika aku berjilbab,
aku bisa memakai jilbab itu dan mengaplikasikannya di dalam penampilanku dan
kepribadianku. Benar-benar sesuatu yang nyaris mustahil.

Betapa
pun aku ingin memulainya, entah mengapa ada saja halangannya. Seperti,  ketika
aku  menyampaikan  cita-citaku
itu  pada  Rina,
cewek  yang KUKIRA sahabatku. Apa
yang terjadi ketika aku cerita tentang ‘cita-cita’ku itu? Diluar dugaan dia
malah menertawaiku dan malah mengatakan ‘lo kesurupan apa, Hone (baca: han)’

Walaupun
aku bukan pemakai jilbab, tapi kurasa kelakuanku juga tidak seperti yang
dipikirkan orang-orang. Aku gadis yang baik, aku tidak pernah mengambil pacar
orang, aku juga tidak pernah di luar rumah di atas pukul  7 malam. Kalaupun aku berkencan dengan pacar-pacarku
selama ini, itu semua hanya dilakukan di siang menjelang sore hari. Dan yang
terpenting, aku juga tidak pernah berpacaran dengan cowok-cowok yang
pergaulannya ‘rusak’. Oke, sekian dariku. Sekarang Furqan.

Namanya
saja Furqan. Nama itu entah mengapa ketika kusebut, aku selalu merasakan
perasaan yang aneh. Furqan. Furqan. Furqan. Dia cowok yang kalau bisa dibilang
benar-benar-benar-benar shaleh. Dia kelas XI IPS D. Kerjanya,

kalau
bukan di mushallah sekolah pasti ada di perpustakaan bagian sejarah Islam dan
hukum-hukum Islam. Anak yang benar-benar religius. Sangat jarang atau bahkan
sudah tidak ada di seantereo Bandung ini.

Pernah   kudapati 
saat   aku   dalam 
perjalanan   menuju   sekolah, 
ia memberhentikan sepedanya dan membantu seorang nenek renta menyeberang
jalan. Pernah juga dia kudapati membagikan nasi bungkus pada gelandangan yang
terletak di persimpangan sana, lagi-lagi dengan sepeda tuanya.

Dia
anak yang baik. Bukan sekedar baik. Tapi, ah! Susah dijelaskan. Furqan.
Tidak  pernah  sekalipun
aku  melihatnya  bersentuhan
tangan  bahkan  duduk dengan cewek mana pun dalam radius  10 meter. Aku juga tidak pernah melihatnya
tanpa kopiah atau pun dengan Al-quran mini di tangannya.

Dan
sosok Furqan yang sangat religius itulah yang membuatku sangat terpesona
sekaligus sangat penasaran padanya.

Tanpa
kusadari setiap aku lewat di depan kelasnya, kepalaku selalu menengok ke dalam
kelasnya mencari sosok Furqan dengan alasan ingin melihat-lihat stok cowok XI
IPS D. Tanpa kusadari juga, aku malah lebih betah di mushollah setiap
pulang  sekolah  memerhatikan
sosok  Furqan  yang
sedang  membaca  AlQurannya.

Semakin
lama kuperhatikan, semakin aku terjebak oleh pesona religius Furqan. Mungkin
dia adalah orang yang bisa merubahku menjadi diriku yang kuinginkan. Aku ingin
menjadi wanita mushlimah seutuhnya.

“Furqan
ada?” aku menengok ke dalam kelas XI IPS D saat jam istirahat. Sudah
kupastikan, Furqan pasti sedang membaca Al-qurannya di pojok ruangan dekat
jendela. Seketika seisi kelas memandangiku dan Furqan secara bergantian.

The
School’s Princess one bertemu dengan The School’s Religious one. Semua merasa
aneh dengan itu. Dan sebenarnya kalau boleh jujur, aku juga merasa aneh.

Aku
duduk kira-kira 7 meter di depan Furqan. Kami berdua hanya duduk tanpa tahu
harus memulai dari mana percakapan ini.

“maaf
mengganggumu dan menyita waktumu” aku bicara tanpa melihatnya dan malah
memerhatikan bunga-bunga yang ada di sekelilingku.

“kalau
kau bicara seperti itu, berarti ada sesuatu yang penting” jawabnya dengan nada
datar. Entah mengapa saat ini aku baru menyadari kekerenan, pesona, dan
ketampanan Furqan.

“hmm…”
aku berdehem “aku ingin menjadi wanita mushlimah seutuhnya. Bisa kau
membantuku?”

Furqan
menampakkan ekspresi heran sesaat dan akhirnya dia tersenyum. Sudah kubilang dia
itu tampan. “dengan senang hati akan aku bantu”

Aku
berdehem  “aku ingin menjadi wanita
mushlimah seutuhnya. Bisa kau membantuku?”

Furqan
menampakkan ekspresi heran sesaat dan akhirnya dia tersenyum. Sudah kubilang
dia itu tampan. “dengan senang hati akan aku bantu”

Aku  masih
saja  terbayang  dengan
percakapan  pertamaku  dengan
Furqan kemarin. Entah mengapa saat kukatakan aku ingin menjadi wanita
muslim seutuhnya, di luar dugaanku, ia malah akan membantuku. Memang aku yakin
dia akan membantuku, tapi bisa saja dengan image-ku selama ini, dia malah akan
menertawaiku.

Dia
berbeda dengan yang lain. Aku yakin itu dan memang, ia berbeda dengan yang
lain. Dia anak SMA jurusan IPS yang sangat religius. Kemarin, aku datang
menemuinya di kelas untuk mengembalikan buku ibunya, aku sadar, semua orang
pasti memerhatikan kami dan pasti berita itu akan tersebar sampai seantereo
sekolah.

Tapi,
setidaknya kumohon, jangan sampai Ryan yang mengetahui itu.

Oke,
sekedar info saja, sekarang status ku sedang tidak berada dalam status jomblo.
Yang parahnya lagi, pacarku saat ini over protectif padaku. Bertemu dengan
orang lain saja aku harus melapor padanya. Kuharap Ryan tidak tahu ini,
walaupun ini nyaris mustahil.

“untuk
menjadi seorang muslimah yang kau inginkan..” seperti biasa Furqan sedang
berada di perpustakaan membaca buku-buku agama lainnya. Tapi, kali ini dengan
kehadiranku di sini, jadilah kegiatan Furqan berubah. Ia bagaikan guru
kepribadian bagiku.

Furqan  memberitahuku
semua  yang  ia
ketahui  tentang  menjadi
seorang muslimah yang baik. Mulai cara berbusana sampai cara bersikap
semua ia ajarkan padaku. Termasuk hukum berpacaran dalam Islam yang tidak
pernah kuketahui dari dulu.

Sadar
atau tidak, aku mulai mengucapkan assalamualaikum dalam menjawab teleponku.
Setiap aku bertemu dengan teman-temanku, aku tersenyum dan mengucapkan salam.
Aku juga tidak lagi menggunakan pakaian yang terlalu ketat, dan aku juga tidak
lagi mengumbar senyum sana sini bahkan aku menjadi salah satu anggota remaja mushollah
di sekolahku.

Dengan
perubahan ini,  aku  mulai
merasa  tenang,  damai,
dan  akh!  Susah dijelaskan, intinya semua ini memberiku
banyak perubahan yang sangat sangat bermanfaat bagiku.

Sekarang
mengenai Furqan. Sekarang ia sudah mulai bersahabat denganku. Entah   itu 
cuman  khayalanku  semata
atau  memang  dia
sepertinya memerlakukanku berbeda dengan yang lainnya. Apakah ini hanya
perasaan ku atau bukan aku juga tidak tahu pasti.

Saat
pulang sekolah, tiba-tiba saja hujan langsung turun dengan lebatnya. Spontan
aku langsung menuju halte bus terdekat dan berteduh di sana. Siapa sangka  di
sana  sudah  berdiri
Furqan  yang  juga
sedang  menunggu  hujan berhenti. Aku tahu itu Furqan dan aku
mengucapkan salam seperti biasa. Dia juga menjawabnya dengan biasa.

Mungkin
Furqan risih dengan keberadaanku dalam jarak kurang dari 5 meter darinya,
Furqan sedikit ke samping untuk memperluas jarak kami. Walaupun itu
berarti  sebagian  tubuhnya harus terkena hujan. Kemudian aku
dan Furqan hanya sibuk dengan pikiran kami masing-masing.

“Uswahtun
Hasanah” Furqan membuatku kaget dengan gumamannya. Sudah hampir dua tahun aku
tidak pernah mendengar kata itu. “aku sangat suka nama itu” Furqan berbalik ke
arahku dan berkata“bagaimana menurutmu Uswahtun Hasanah?”

Aku
kaget luar biasa kaget, bagaimana mungkin ia tahu nama asliku. Nama yang bahkan
guru sekalipun sudah lupakan, nama yang sudah tergantikan dengan nama pemberian
teman-teman SMP ku, nama yang bahkan hampir kulupakan. Bagaimana mungkin,
Furqan, bisa mengetahui itu?

“setelah  kau
melupakanku,  apakah  kau
bahkan  melupakan  nama
aslimu, Uswah?” aku masih tidak berkata-kata mendengar kalimat yang
ditanyakan Furqan.

“kau
lebih cocok menggunakan nama itu, karena nama itu istimewa.” Furqan melepas
kacamatanya, “apa benar kau melupakan aku, Uswah?”

Semua
terasa seperti mimpi. Aku tidak sadar dan mungkin tidak pernah sadar dengan
siapa sebenarnya Furqan itu. Aku tidak pernah menyangka Furqan yang ini adalah
Furqan yang itu. “kadangkala masa lalumu justru datang disaat masa lalu itu
sudah terlupakan” dan kata-kata nenek dulu benar. Hhhh!

hanya
mendesah mendapat kenyataan ini. Hanya mendesah berat dan tidak berbuat apa-apa
karena aku memang tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau ia Furqan  yang
itu,  bagaimana  dengan
‘perubahanku-menjadi-muslimah-yangkuinginkan?’ apakah lagi-lagi harus berhenti
di tengah jalan?

Keesokan  paginya
begitu  aku  melewati
gerbang  sekolah,  mataku
langsung menangkap sosok Furqan dengan sepeda tuanya. Astaga! Aku tidak
bisa berkata apa-apa. Ingin rasanya aku menghilang tapi, saat aku baru saja
ingin berbalik, ia malah melihatku.

Apa
yang harus kulakukan? Dia tersenyum padaku. He-eh? Tersenyum? Aku berbalik ke
belakang memastikan siapa sebenarnya yang sedang ia senyumi. Dan aku mendapati
tidak ada orang disana.

Semuanya
harus kuhadapi. Aku berjalan ke Furqan dan aku tersenyum padanya

“Assalamualaikum…”

“assalamualaikum”  aku
menyapa dan tersenyum pada Furqan dengan hati riang, seolah percakapan
kami kemarin tidak pernah terjadi. Saat ini hanya ada satu alasan dalam hatiku,
kumohon buat Furqan melupakan percakapan kami kemarin. Ya, percakapan kami.

Tidak
terasa satu tahun sudah aku mengenakan jilbab ini. Kain putih yang kugunakan
untuk menutup auratku. Benar-benar perubahan yang mencolok dari seorang Honey.
Seorang yang dulunya terkenal dengan image cantik, banyak pacar, banyak mantan,
dan entahlah apalagi. Kalau boleh jujur aku senang dengan perubahanku ini.

Aku
senang bukan berarti semua ini terjadi begitu saja tanpa perjuangan yang keras.
Awalnya, mantan-mantanku mengatakan bahwa aku salah pilih jalan, cewek-cewek
centil  yang  dulu
selalu  bergaul  dengan
ku  juga  bilang
aku kesambet setan entah darimana. Dan paling parahnya lagi, orang tuaku
sendiri bahkan bilang aku sepertinya terkena amnesia, entah terbentur dimana.

Lantas  apa yang kulakukan? Bukan Honey namanya kalau
tidak melakukan perlawanan dan mematikan orang-orang yang berkata begitu. Tapi,
itu dulu. Sekarang, seperti yang diajarkan Furqan, semuanya akan indah jika
dilandaskan dengan ketulusan dan keikhlasan serta ditopang dengan kesabaran.

Aku
mengerti apa yang Furqan katakan dan melakukan semuanya. Intinya, berkat Furqan
aku bias melalui semua itu dengan baik. Dan sekarang, aku bukan lagi Honey yang
cantik, banyak pacar, banyak mantan tapi menjadi seorang Uswahtun Hasanah yang
muslimah. Merupakan pasangan yang cocok untuk Furqan.

Sekarang,
beralih ke tema lain. Aku adalah pasangan yang cocok untuk Furqan. Siapa yang
bilang itu? Entahlah tidak ada yang tahu. Tidak jelas siapa yang bilang  pertama,
atau  sejak  kapan
gossip  itu  beredar.
Yang  pasti,  itu membuatku sadar akan suatu hal. Apa itu?

Perasaan
ku pada Furqan. Sebenarnya, apa perasaanku pada Furqan? Hanya seorang teman,
sahabat, sahabat dekat, atau lebih? Aku masih bingung. Aku merasa perasaanku
pada Furqan lebih dari sepasang sahabat dekat, ya, aku pikir begitu. Sayangnya,
aku tidak pernah memikirkan perasaanku pada Furqan seperti itu. Kurasa, aku
menyebut perasaan ini sebagai sesuatu yang berada antara kagum, sahabat, dan
cinta.

Itulah
perasaanku pada Furqan. Masih mengambang. Tidak jelas. Lantas apa perasaan
Furqan padaku? Bagaimana perasaan seorang Furqan pada ku? Aku masih sibuk
menerka-nerka seperti apa perasaan Furqan padaku, sampai siang ini.

Bel
pulang berbunyi, aku sibuk memasukkan semua buku-bukuku dalam tas dan hendak
pulang. Siapa sangka Furqan sudah berada di depan pintu kelasku. Apa yang dia
lakukan? Tentu saja menungguku.

“Assalaamualaikum“
sapaku pada Furqan dengan senyuman seperti biasa

Furqan
tidak menjawab salamku dan sibuk dengan tatapannya yang menatap… ke arahku!
Mendapati aku sedang ditatap oleh Furqan aku menunduk, berusaha menyembunyikan
wajah ku yang memerah lantaran malu. Furqan menggeleng sebentar dan akhirnya
dia menjawab salamku “Waalaikum salam“ “Ada apa? “

“Tidak  ada
apa-apa,  aku  hanya
mengingatkanmu,  bada  ashar
nanti,  ada pengajian di rumahku.
Ibuku menyuruhmu untuk dating ke pengajian itu. “ Jelas Furqan siap “Kau tidak
ada acara bukan?“

Aku
menggeleng pelan seraya berkata tentu saja tidak

kami
berdua berjalan beriringan. Furqan, sepeda tuanya, dan aku. Kami membicarakan
banyak hal. Ya, setidaknya, lebih banyak dari yang dulu. Bahkan, kudapati  Furqan
tertawa ,  mendengar  ceritaku
tentang  pendapat orang tuaku
mengenai jilbab ku ini. Pemandangan yang langka melihatnya tertawa. Tanpa sadar
aku menatap Furqan.

“Uswah“
panggil Furqan padaku. Nada bicaranya agak aneh. Aku menggeleng sebentar dan
menjawab “Ya?“

 menunduk
sebentar  dan  memberhentikan  langkahnya. “Aku  tidak pernah melakukan ini sebelumnya.“ Aku
belum pernah menyatakan perasaanku

pada
perempuan mana pun. Kuperhatikan keringat dingin mengalir dari leher dan dahi
Furqan. Setegang itukah dia?

“Lalu?“

“Maaf
saja, jika aku menyatakan perasaanku padamu tidak seperti mantanmantan mu yang
lalu.“

Otakku
berjalan lebih lambat dari biasanya. Aku belum bias mencerna apa yang
dikatakan  Furqan.  Aku
harap kau bersedia  menerima
perasaanku padamu. Hening. Aku bahkan bias mendengar dentingan detik jam tangan
Furqan saking heningnya. Padahal, ini jam sekolah. Motor, mobil saling
membunyikan klakson bersahut-sahutan.

“Tidak
bisa.“ Kata-kata itu langsung keluar dari mulutku begitu saja. Refleks.
Aku  tidak  bisa
menerima  perasaanmu  itu
Furqan.  Mendengar  itu
Furqan terkejut begitu pula aku.

“Maksudmu?“

“Aku
tidak bisa menerima perasaanmu itu. Aku belum siap. Aku masih perlu banyak
belajar  dengan  kemuslimahanku  ini.
Sekarang  ini,  aku
ingin  focus Furqan. Aku ingin
focus pada cita-citaku dan cinta-Nya.“ Jantungku berdegup kencang mengatakan
itu. Alhamdulillah, ini cobaan lainnya.

Furqan
tersenyum masam. “Kau benar-benar berubah, Uswahtun Hasanah.“ “Ya, itulah aku
berkat kau.“ Jawabku dengan senyuman juga. “Lalu? Bagaimana perasaanmu padaku?“
Tanya Furqan lagi.

Aku
menghentikan langkahku, begitu juga dengan Furqan. Aku bingung harus berkata
apa, Bismillahhirrahmanirrahim “aku juga punya perasaan yang sama

padamu“
dan aku berlari kecil meninggalkan Furqan yang masih mematung dengan jawaban ku
tadi.

REUNI
SMA Negeri 3 Bandung tahun angkatan 2011/2012. Aku membaca pelan undangan reuni
SMA ku ini. Ini akan dilakukan 3 hari lagi. Hhhh! Aku menutup mata pelan.
Berusaha menenangkan pikiranku setelah hampir 6 jam disibukkan mengajar anak TK
ini.

Disaat  itulah
aku  melihatnya  lagi.
Aku  melihat  kejadian
ketika  Furqan menyatakan  perasaannya
padaku.  Dan  betapa
bodohnya  aku,  aku
malah menolak Furqan. Padahal aku memiliki perasaan yang sama dengannya.
Hhhh!!

Kuharap
aku masih punya kesempatan lagi. Setidaknya untuk melihat Furqan. Menyadari
keinginan ku itu. Aku membuka mata dan mengambil undangan reuni itu. REUNI.
Mungkin Furqan akan dating di sana.

Harus  kuakui.
Aku  dan  Furqan
semacam  kehilangan  kontak
sama  sekali. Terakhir  bertemu
dengannya  saat  aku
pamitan  akan  kembali
ke  Aceh mengikuti Nenekku. Hanya
sampai disitu. Terlebih lagi ponselku yang berisi nomer ponsel Furqan pun raib
dicuri.

Tanpa
tunggu lagi,  aku  langsung
mengambil  tasku  dan
menuju  ke ruang kepsek.  Aku
ingin  minta  cuti.
Dan  siapa  sangka
kepsek  memberikan  cuti seminggu. Ku rasa seminggu itu cukup.
Aku mengucapkan terima kasih.

Sampai
dirumah, aku langsung mengambil baju dan memasukkannya ke dalam tas tangan yang
cukup besar. Aku berencan untuk tinggal disana beberapa hari, setidaknya aku
juga bisa melihat keadaan rumah peninggalan mendiang ayah dan ibu.

Setelah  beberapa
hari  perjalanan,  akhirnya
aku  sampai  di
Bandung.  Aku menuju ke rumah
orang tuaku dulu, dan berharap ada kamar kosong yang bisa kugunakan  untuk
tinggal  beberapa  hari
ini.  Pasalnya,  rumah
ini  sudah dijadikan rumah
kos-kosan. Ya. Mudah-mudahan saja.

Akhirnya
hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Aku diantar oleh Rasma, yang menyewa
kos-kosan di rumahku mengantar ku ke SMA ku tempat reuni itu. Hatiku deg-degan
membayangkan bagaimana Furqan sekarang ini. Aku berdoa dalam hati agar Furqan
bisa hadir dalam Reuni ini. Insya Allah.

Aku
memasuki aula tempat reuni itu. Sampai acara dimulai aku terus saja mencari
Furqan. Aku mendesah mendapati kenyataan bahwa tidak ada Furqan di sini bahkan
setelah acara reuni ini selesai. Dan jadilah reuni yang kutunggutunggu menjadi
hal yang tidak begitu penting lagi.

Sekarang
penyesalan membumbung tinggi dalam hatiku. Semestinya aku tidak menolak Furqan,
semestinya aku tidak pergi ke Aceh, dan semestinya ponselku

tidak  hilang.
Aku  berusaha  menyalahkan
semuanya.  Bahkan  aku
sampai menyalahkan orang tua ku yang meninggal di saat yang tidak tepat.

Aku
khilaf. Astagfirullah, aku mengucapkan kalimat itu berulang kali hingga aku
menitikkan air mata. Aku terduduk di taman dimana aku dan Furqan dulu pertama
kali  bicara.  Pelan-pelan
air  mataku  terus
jatuh  hingga  akhirnya mengalir dengan deras.

“Tidak
ada yang salah“. Aku mengucapkan kalimat itu sambil menyeka air mata yang terus
mengalir di pipiku . “Tidak ada yang salah kecuali aku. Aku benar-benar menyesal“

“Uswah?
Apa itu benar kau? “

Aku
berbalik mendapati suara yang tidak asing lagi di telinga aku. Senyumku merekah
walau dengan air mata yang masih mengalir begitu mengetahui orang itu adalah
Furqan. “Furqan? “

“Ya
ini aku. Furqan. Aku sudah mencari-carimu kemana-mana.“ Aku masih terdiam dan
terus memandangi wajah Furqan. “Apa yang kau lakukan di sini. Ayo, kuantar kau
pulang.“

Aku
menurut saja ketika Furqan memberikan ku isyarat agar mengikutinya. Aku masih
sibuk memandangi punggung Furqan yang masih berjalan ketika tiba-tiba ia
berhenti. Spontan aku pun berhenti.

“Aku
sudah menunggu terlalu lama. 10 tahun Uswah.“ Furqan menunjukkan 10 jarinya
“aku takkan basa basi lagi. Dengan seluruh kesadaranku, restu Allah, dan restu
Orang tua ku“ Furqan berhenti bicara dan menarik napas dalam
“Bismillahirrahmanirrahim mau kah kau menjadi pendampingku sampai Tuhan
mencabut nyawa kita masing-masing?“

Aku
tidak pernah membayangkan ini. Aku dilamar Furqan? Ini sama sekali tidak
ada  dalam  banyanganku.
Hening.  Sampai-sampai  aku
bisa  mendengar dentingan detik
jam tangan Furqan sama seperti dulu. 10 tahun lalu.



Ketika  Furqan menyatakan perasaannya padaku dan aku
menolaknya. Dan malah membuatku menyesal. Aku tidak akan melakukan kesalahan
yang sama. “Bismillahirrahmanirrahim ya, aku bersedia. Agar kau bisa lebih
mengAjari Aku Mencintai-Nya“ 

You Might Also Like

4 komentar

Flickr Images